Jumat, 23 Oktober 2015

PERPUSTAKAAN DAN HOBI MEMBACA



Oleh :  Bambang Harmunan, S.IP.

       Buku bacaan atau segala sesuatu yang merupakan bahan bacaan adalah sumber pengetahuan atau bisa juga dikatakan sebagai jendela wawasan. Hobi membaca berarti masuk ke dalam wawasan ilmu pengetahuan dan secara tidak langsung merupakan proses perubahan dinamika pemikiran ke arah pengembangan yang nyata. Membaca bisa diartikan sebagai menggali ilmu pengetahuan serta merupakan upaya mendidik dirinya sendiri secara berkesinambungan. Semakin gemar membaca, semakin tergiring kepada pemikiran yang kritis, kreatif dan produktif serta akan menjadikan seseorang lebih bijaksana dalam menyikapi sesuatu. Dalam dunia pendidikan, selain adanya pengajar (tutor), buku bacaan serta gemar membaca merupakan kesatuan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan serta sangat membantu kepada fungsi pendidikan itu sendiri dalam upayanya menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.

       Sudah barang tentu dalam hal ini tidak semua orang mampu mengadakan atau membeli buku-buku bacaan yang diperlukan. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan tersebut seiring pentingnya gemar membaca serta tersedianya buku bacaan, pemerintah baik melalui satuan pendidikan, organisasi ataupun lembaga-lembaga lainnya berupaya mengadakan sarana dan prasarana bacaan atau yang disebut dengan perpustakaan. Perpustakaan adalah koleksi buku bacaan atau segala sesuatu yang merupakaan bacaan, dalam hal ini bisa berupa buku, majalah dan lain sebagainya. Koleksi buku bisa dilakukan secara pribadi seseorang, namun secara umum perpustakaan adalah merupakan koleksi besar yang diadakan atau dibiayai baik oleh pemerintah maupun institusi lainnya, dengan maksud memberikan kemudahan kepada masyarakat yang memerlukan informasi pengetahuan khususnya masyarakat yang tidak mampu mengadakan atau membeli sekian banyak buku atas biaya sendiri. Adapun dalam fungsinya sebagai pelayanan terhadap kebutuhan ilmu pengetahuan, perpustakaan bertujuan agar masyarakat dengan tanpa membedakan umur dapat mengembangkan kemampuan berfikir yang konstruktif untuk menjadi warga Negara yang baik serta dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan nasional. 

       Sejalan dengan perkembangan dunia teknologi, dimana informasi akan ilmu pengetahuan, hiburan, rekreasi, religi dan lain sebagainya semakin mendominasi kebutuhan hakiki manusia, kini perpustakaan tidak hanya sebagai tempat penyimpanan informasi berupa buku-buku atau bacaan lainnya (book material), akan tetapi juga berupa media yang lebih canggih seperti tape audio, tape video, map, CD, kaset film strip, slides, akses internet dan lain sebagainya (non-book material). Adapun di Indonesia sendiri sebagian besar koleksi perpustakaan masih berupa book material dan masih jarang yang memiliki koleksi berupa non-book material. Dengan demikian bisa dikatakan adanya perpustakaan tentunya tidak lepas dari adanya kebutuhan pengetahuan yang sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia. Lalu bagaimana perpustakaan itu ada?
       Dalam sebuah komunitas sebut saja sebuah Negara, perpustakaan merupakan pengetahuan dari perkembangan masyarakat. Alur perkembangan masyarakat dari jaman ke jaman adalah sejarah, di mana pengetahuannya tentu saja tidak terlepas dari peranan perpustakaan. Oleh karena itu bisa dikatakan sejarah Negara mencerminkan sejarah perpustakaan. Di Indonesia misalnya, sejarah Indonesia dapat di bagi menjadi beberapa periode yakni : 1. Zaman kerajaan lokal;  2. Zaman kerajaan Islam; 3. Zaman Hindia Belanda; 4. Zaman Jepang; 5. Zaman pasca 1945. Dalam periode pasca 1945 secara umum dibagi lagi menjadi periode 1945-1959, periode 1959-1965 dan periode 1965 ke atas. Pada pembagian di atas, tahun 1950 merupakan awal rancangan karena pada waktu itu pemerintah RI mulai menyebarkan perpustakaan, khususnya perpustakaan umum dengan nama Taman Perpustakaan Rakjat ke seluruh indonesia. Perkembangan perpustakaan umum yang mula-mula menggembirakan itu akhirnya berakhir tragis dengan runtuhnya berbagai taman pustaka rakjat yang didirikan pada tahun 1950-an. Tonggak kebangkitan dimulai pada tahun 1969, dengan pembangunan lima tahun (pelita) pertama. Saat itu, kegiatan perpustakaan tercakup di dalam rencana pembangunan hingga sekarang.
       Kembali kepada peranan perpustakaan terutama bagi perkembangan dunia pendidikan. Di sekolah-sekolah, perpustakaan yang terorganisir secara baik dan sistematis, secara langsung maupun tidak langsung dapat membantu kemudahan bagi proses belajar-mengajar. Hal ini tentunya sangat berpengaruh kepada kemajuan sekolah itu sendiri, bahkan secara umum akan sangat bermanfaat bagi perkembangan kehidupan manusia. Oleh karena itu sekolah dan perpustakaan bisa dikatakan sebagai pasangan yang ideal untuk sebuah kemajuan pendidikan yang tentunya mengarah kepada peningkatan sumber daya manusia.
       Namun demikian dalam kenyataan yang ada, keberadaan perpustakaan di beberapa sekolah khususnya tingkat dasar yang notabene merupakan wadah pendidikan dalam menggalakan motivasi kepada minat baca sedini mungkin, sepertinya terabaikan. Tidak sedikit sekolah-sekolah yang tidak memiliki fasilitas perpustakaan dalam arti perpustakaan seutuhnya yang sesuai dengan tujuannya. Ada buku tidak tersedia tempat, atau sebaliknya ada tempat tidak lengkap buku-bukunya. Hal ini boleh jadi mencerminkan kurangnya minat baca, sehingga terkesan keberadaan perpustakaan tidak terpedulikan. Namun apapun keberadaannya, yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah bagaimana meningkatkan minat baca masyarakat khususnya para peserta didik dengan menekankan kepada pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Jadi lebih mendasarnya bahwa sarana bacaan (perpustakaan) dan hobi baca adalah kesatuan yang melengkapi upaya peningkatan kualitas hidup manusia. (Ref.sumber bacaan umum)*****

Selasa, 21 Oktober 2014

RAKSASA MEDIA



Oleh : Galuh Ratnatika

Sejauh mana pemahaman kita terhadap media? Bagaimana kita menanggapi media itu sendiri? Apa yang ada dalam pikiran kita, ketika melihat tayangan di televisi? Mengapa media sangat berpengaruh bagi masyarakat? banyak pertanyaan yang akan muncul ketika kita berbicara mengenai literasi media, atau pemahaman mendalam mengenai media, khususnya mengenai berbagai tayangan visual yang disajikan di televisi, yang ada di Indonesia. 

Benarkah media telah melakukan hegemoni terhadap masyarakat?

Hegemoni dapat disebut juga sebagai penjajahan yang tidak disadari. Banyak masyarakat Indonesia yang tidak menyadari bahwa sang Raksasa, atau media telah mengkonstruksi pola pikir mereka, melalui gambar visual yang disajikan semenarik mungkin. Mulai dari tayangan hiburan, iklan, bahkan pemberitaan yang kerap kali muncul di layar kaca dengan desain visual dan isi yang di setting sedemikian rupa.
Masyarakat yang tidak tahu apa-apa dengan mudah mengkonsumsi dan menyerap tayangan-tayangan tersebut tanpa adanya penyaringan. Meskipun tayangan tersebut sama sekali tidak berbobot. Bahkan kita tahu, terdapat banyak tayangan hiburan yang tidak memiliki nilai edukatif, yang targetnya adalah masyarakat menengah ke bawah. Seperti salah satu tayangan variasi show, yang membloking prime time, yang hanya menyajikan komedi-komedi kasar dengan gambaran kekerasan terhadap sesama komedian. Serta membagi-bagikan uang kepada masyarakat kecil dengan terlebih dahulu mempermalukan mereka di depan banyak masyarakat Indonesia yang menyaksikan acara tersebut. Seolah sang Raksasa lah yang berkuasa.
Pantaskah anak-anak di bawah umur melihat tayangan tersebut? Yang mungkin saja kekerasan itu dapat dilakukan terhadap temannya, dan berpikir bahwa hal itu adalah lucu. Pantaskah kita tertawa melihat mereka, rakyat kecil, dipermalukan hanya untuk selembar uang? Tidak seharusnya hal seperti itu dipertontonkan kepada masyarakat, khususnya anak-anak di bawah umur.
Tidak hanya variasi show, sinetron juga menjadi salah satu bentuk hiburan, yang lebih mengedepankan rating, dibanding pendidikan dan nilai moralnya. Banyak sinetron yang berlomba-lomba untuk menarik perhatian masyarakat, dengan alur cerita yang Islami. Sebuah gambaran tentang budaya dan ajaran Islam yang terlihat baik di mata masyarakat. menggunakan soundtrack dengan lagu Islam, memperlihatkan gadis-gadis dan wanita-wanita muslim dengan hijabnya. Menyajikan ustadz sebagai salah satu tokoh agama. Serta memperbanyak episode hingga ratusan.
Benarkah sebaik itu sinetron Islam yang ditayangkan? Saya pribadi mengatakan tidak. Mengapa? Sinetron bergenre religi yang kerap ditayangkan di televisi, hanya menggambarkan nilai Islam dari kulitnya saja. Cara berpakaian, kerap kali menunjukkan jenjang sosial. Dimana Si kaya menggunakan hijab yang berlapis-lapis, bermerk, dan terlihat sangat anggun. Dan Si miskin, hanya mengenakan hijab yang terlihat sangat biasa. Tentunya, setiap wanita yang melihat hal ini, akan mengikuti trend hijab Si kaya yang terlihat anggun. Apakah Islam mengajarkan seperti itu? Anda sendiri yang dapat menilainya. Lalu  bagaimana dengan jalan ceritanya? Pada dasarnya, sama dengan sinetron pada umumnya, ada Si antagonis dan ada Si protagonis. Bahkan alurnya pun terkesan monoton. Hanya ditambahkan unsur-unsur Islam di dalamnya.
Selanjutnya adalah iklan, yang menjadi makanan sehari-hari masyarakat dan dikonsumsi sebagai kebutuhan. Tentunya, iklan sangat berpengaruh besar dalam mengkonstruksi pola pikir masyarakat. benarkah iklan seperti itu adanya? Mungkin orang-orang periklanan lebih mengetahui, bagaimana iklan dapat dengan mudah menghegemoni masyarakat. Iklan membuat berbagai konstruksi, salah satunya adalah konstruksi gender, yang lebih menonjol dan menghantui para remaja khusunya. Contohnya, produk pemutih, penghitam rambut, pelangsing tubuh, produk pembentuk otot pria, peninggi badan dan sebagainya.
Dalam hal ini, iklan seolah mendoktrin masyarakat, bahwa feminitas dan maskulinitas yang sesungguhnya adalah seperti yang digambarkan dalam tayangan visual yang hanya berdurasi beberapa detik saja. Para remaja berburu produk-produk tersebut, hanya untuk membuktikan khasiatnya. Putih, tinggi, langsing atau berotot (untuk laki-laki), rambut panjang yang berkilau, adalah gambaran media terhadap sosok wanita cantik dan sosok pria tampan.
Bagaimana dengan masyarakat yang melihat tayangan tersebut? Berusaha memutihkan kulit, meninggikan badan, diet dan sebagainya, hanya untuk menjadi sosok sempurna yang digambarkan media. Pada kenyataan, cantik atau tampan tidak dapat digambarkan seperti itu. Bahkan sering kita lihat juga, iklan yang menjual Islam untuk mempromosikan produknya. Apa yang dijual? Lebih sering kita melihat, hijab lah yang dijual iklan tersebut, untuk mengikuti budaya pop di Indonesia. Pertanyaannya, mengapa Islam diperjualbelikan hanya untuk sebuah produk?
Beralih dari tayangan hiburan dan iklan, tayangan pemberitaan pun tidak luput dari skenario Sang Raksasa Media. Ketika media telah dikuasai sepenuhnya oleh Sang Raksasa, maka tidak ada lagi ideologi jurnalisme yang mengedepankan informasi aktual untuk kepentingan umum, tetapi lebih kepada kepentingan pribadi Sang Raksasa. Benarkah begitu? Menurut saya, iya. Mengapa? Karena saat ini media tidak terlepas dari parodi politik yang dibuat oleh para aktor politik itu sendiri, yang dengan gagahnya berdiri di belakang media.
Terlalu banyak intervensi dari kaum kapitalis terhadap jurnalisme di Indonesia. Tidak seharusnya media massa memberikan informasi yang berupa kepentingan pribadi semata. Bahkan terkadang menjadi salah satu masalah, atau sumber pemecah belah bangsa, ketika kepentingan politik dicampur adukkan di dalamnya. Sungguh miris, melihat media yang seharusnya menjadi sumber informasi masyarakat berubah menjadi medan perang politik.  Hal ini pula yang menyebabkan media massa Indonesia tidak semaju media massa di luar.

Siapa itu Raksasa Media? 

            Pertanyaan yang kerap kali muncul ketika kita berbicara mengenai hegemoni yang dilakukan media. Raksasa media adalah sebutan untuk para penguasa media, atau para kaum kapitalis yang mengendalikan media itu sendiri. Jika muncul pertanyaan, seberapa kejam penjajahan oleh kaum kapitalis kepada masyarakat? maka saya akan menjawab, hampir sama kejamnya ketika bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa Eropa. Hanya saja penjajahan saat ini, tidak disadari oleh masyarakat.
            Kita, masyarakat yang tergantung terhadap media, dijadikan sebagai target operasi penyerangan ideologi mereka (para kaum kapitalis) dengan senjata televisi. Siapa sangka, bahwa masyarakat dapat dengan mudah dijajah, didoktrin, disuguhkan dengan tayangan yang terkesan manis namun kejam, dan kemudian diperas untuk mencari keuntungan semata.
            Seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Bahwa media saat ini lebih mengedepankan ratting yang tinggi dibanding mengedepankan pedidikan dan nilai moral. Benarkah begitu? Menurut saya, iya. Karena media saat ini benar-benar banal atau sama sekali tidak berbobot. Media juga kerap dijadikan sebagai bentuk pencitraan dan mesin kasir. Yang mana korbannya adalah masyarakat awam. Itu semua, tentunya untuk mengembalikan keuntungan mereka (para kaum kapitalis), orang-orang yang bersembunyi dibalik media.
            Lihatlah bagaimana semua pertelevisian swasta di Indonesia berdiri di bawah kekuasaan Raksasa Media, yang tidak sedikit dari mereka adalah orang-orang yang juga terlibat dalam politik. Tentunya media dan politik sudah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, terlebih ketika mereka mendapatkan perhatian masyarakat yang tidak memahaminya.

Dan apa itu literasi media?

            Seperti yang sudah ditulis. Literasi media adalah suatu pemahaman mendalam mengenai media. Dimana masyarakat dituntut untuk mengetahui seluk beluk media yang ada di Indonesia, serta dapat mengkritisi media itu sendiri. Luar biasa bukan? Melihat media berkuasa dan melakukan hegemoni terhadap kita, masyarakat. Sedikitnya itu yang dapat saya sampaikan. Selebihnya tergantung bagaimana anda menilai media, dan menjadi penonton yang cerdas dan kritis. Cerdas dalam mengkonsumsi tayangan dan kritis dalam menilai.

Rabu, 17 September 2014

DI BALIK DIDING KEMEWAHAN



Oleh : Zamid al Zihar



    
Pict : rio-mamdoeh.blogspot.com
     Kesenjangan sosial di Indonesia yang kita cintai ini sepertinya sudah menunjukkan jarak yang semakin jauh. Dari permukaan kita bisa melihat wajah kehidupan yang begitu mewah, kehidupan yang terbingkai gemerlap keduniaan, kehidupan yang seolah tidak pernah mengenal kesulitan, kehidupan yang dengan segala penampilannya bergaya jetset. Namun jika melangkah lebih jauh menyingkap sisi permukaan lainnya, maka kita akan melihat pemandangan kehidupan yang begitu kontras perbedaannya, kehidupan yang mengharu biru, kehidupan yang jauh dari kelayakkan bahkan teramat memprihatinkan. Dua sisi keadaan kehidupan yang sangat bertolak belakang di mana orang-orang kaya dengan leluasa memanjakan haknya menghambur-hamburkan uang, sementara orang-orang miskin dengan nafas tersengal terpapah-papah mengais nafkah meski hanya untuk sesuap nasi saja.

   Potret kehidupan orang-orang yang jauh di bawah garis kemiskinan, sering kita lihat dalam tayangan beberapa media elektronik, diantaranya ada keluarga yang sudah bertahun-tahun mempertahankan kehidupannya dengan hanya mengkonsumsi gaplek, ada juga yang hidup di bawah naungan atap seadanya, anak-anak terlantar dan kelaparan, belum lagi kisah-kisah tragis lainnya seperti kisah sekeluarga yang bunuh diri karena putus asa menanggung derita, seorang bapak harus menginap di sel tahanan karena mencuri demi sesuap nasi untuk mengganjal perut keluarganya, ada juga orang-orang yang sekian lama terbebani oleh penyakitnya karena tidak mampu untuk berobat dan masih banyak lagi yang lainnya. Begitu juga banyak mengenai kemiskinan yang diangkat mas media, di antaranya Pikiran Rakyat (10/04/2011) melansir sebuah keluarga di Sukabumi yang sudah enam tahun menjalani kehidupannya di kandang kambing, ada lagi di Bandung Barat seorang nenek yang terpaksa makan kardus bekas karena tidak mampu membeli obat untuk mengatasi penyakitnya. Mengenaskannya lagi seperti yang dikutip media yang sama (17/02/2011), warga miskin dipersulit bahkan ditolak berobat oleh hampir semua Rumah Sakit. Benar-benar sebuah penistaan.

   Sejauh ini sepertinya keadaan tersebut tidak tertuang dalam catatan atau laporan resmi para penguasa negeri ini, melainkan hanya merangkum sebatas sisi kehidupan yang baik-baiknya saja. Bisa dimaklumi karena hal ini sangat berpengaruh kepada prestasi kinerja mereka yang apabila mencantumkan kenyataan yang ada tentunya akan menunjukkan bentuk ketidak-berhasilan. Dalam pemandangannya secara umum selalu menampakkan kemajuan yang baik, berkamuflase dengan seolah meraih keberhasilan dalam segala bidang terutama mengentaskan kemiskinan. Memang memimpin tidaklah semudah menulis teori, tapi paling tidak tertanam adanya sebuah kejujuran. Seperti pepatah mengatakan : to rule is easy, to govern is difficult. Berkuasa itu mudah, tetapi memimpin bukanlah pekerjaan yang mudah. Seorang pemimpin harus mendahulukan kepentingan orang banyak, tidak lantas menutupi keburukan hanya semata mencari kebaikan diri sendiri untuk tujuan meraih keduniaan. Itulah barangkali mengapa di negeri ini rentan kejahatan, rentan terhadap ketidakpuasan rakyatnya dengan mengaktualisasikannya secara radikal, sebab kenyataan yang ada para pemimpinnya lebih mementingkan diri sendiri serta merta bergelimang dengan kejahatan, sementara masalah yang parsial seperti kemiskinan terabaikan yang kesemuanya itu mengundang kejahatan. Benar apa yang disabdakan Rasulullah SAW :

“Sesungguhnya sesuatu yang sangat saya khawatirkan sepeninggalku adalah terbukanya lebar-lebar kemewahan dan keindahan dunia atas kamu sekalian.” (HR.Bukhari-Muslim).

   Andai saja Allah menawarkan dua pilihan kepada manusia yang bisa langsung diraih antara hidup bergelimang kekayaan dan hidup dengan kemiskinan, sudah bisa dipastikan siapapun tidak akan ada yang memilih kemiskinan. Namun sayangnya tidak demikian, karena sesungguhnya Allah telah menentukan takdir seseorang yang kita sendiri tidak mengetahuinya, bahkan terkadang banyak yang tidak pernah mau memahaminya. Allah menjadikan seseorang kaya atau miskin bukanlah berarti lepas begitu saja dengan segala kebebasan menentukan sendiri langkahnya, akan tetapi tentunya dibatasi oleh kewajiban yang apabila tidak dipatuhi maka akan ada perhitungannya kelak di akhir kehidupan. Kekayaan akan menghisab apabila tidak dipergunakannya di jalan Allah, begitu juga sebaliknya kemiskinan akan membelit apabila tidak dijalaninya dengan ketawakalan. Kaya dan miskin adalah keseimbangan kehidupan yang dibuat oleh Allah sedemikian rupa, di mana sesungguhnya di antara keduanya ada hubungan timbal balik yang saling melengkapi.

   Allah Yang Maha Agung tidaklah semata memerintahkan sesuatu kepada manusia dengan segala peraturan-Nya, melainkan adanya kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Dalam hal ini manusia diberikan mandat dan kepercayaan untuk mengelola bumi serta seisinya, sedangkan al-Qur’an sebagai undang-undangnya yang merupakan pedoman langkah manusia baik dalam hubungannya dengan Dia, dengan sesama manusia, maupun dengan alam semesta yang mencakup berbagai tumbuhan serta binatang. Adapun pengadilannya jika terjadi suatu pelanggaran adalah merupakan Kekuasaan-Nya kelak di tempat abadi. Demikian manusia yang diciptakan berkelompok, berbangsa-bangsa dan bernegara, dalam menjalankan kepercayaannya juga membuat undang-undang tersendiri, entah masalah syariat, politik, ekonomi maupun ketentuan lainnya ada di dalamnya.

   Namun sayangnya manusia begitu mempercai dan mengagungkan undang-undang yang telah dibuatnya, tanpa mengetahui kehidupan yang hakiki melainkan hanya lahiriyah saja dan lebih kepada keduniaan, sehingga dalam aktualisasinya banyak sekali ketidak adilan. Sebut saja di negeri ini, Indonesia yang kita cintai, moralitas para perangkat pengendali pemerintahan hampir semuanya tertutup kabut hitam yang tebal. Mereka berlomba untuk dapat memenuhi kepentingannya sendiri secara berlebihan, sementara melalaikan apa yang diperintahkan-Nya. Terhadap kepentingan orang lain misalnya, seakan hilang dari keperdulian. Adapun perduli sepertinya tidak lebih dari mengandalkan apa yang tersurat dalam undang-undang tersebut, dan kebanyakan tidak menyentuh kepada nurani, sebagaimana Allah berfirman :

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum, QS 30 : 7).
  
   Nu’man bin Basyir ra. berkata : “Umar bin Khaththab ra. menceritakan tentang keadaan orang-orang yang begitu getol mengumpulkan dunia (harta), kemudian menceritakan tentang Rasulullah SAW yang pernah lapar sehari penuh, tidak tersedia apa-apa untuk mengisi perutnya walaupun sebutir korma yang paling buruk.’” (HR.Muslim).

   Hadis tersebut menunjukkan keadaan terbalik, di mana seorang pemimpin besar seperti Rasulullah SAW kehidupannya begitu bersahaja jauh di bawah umatnya. Beliau lebih mementingkan kesejahteraan umatnya, dan untuk itu semua beliau rela hidup seadanya. Sebagai manusia biasa, mungkin kita tidak akan mampu seperti beliau, namun setidak-tidaknya kita bisa menteladaninya. Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berzuhud dan berbuat baik, andaikan saja kita mau mengamalkannya, niscaya keseimbangan akan terjalin erat dengan ikatan yang saling menguntungkan, bahkan bisa jadi di negeri ini tidak akan ada lagi dinding kemewahan yang menutup dan membatasi perbedaan. Dengan kata lain orang-orang yang kehidupannya berlebih akan membuka hati dan senantiasa memperhatikan serta membantu memecahkan kesulitan orang-orang miskin, begitu juga sebaliknya orang-orang yang bernasib kurang baik tentunya akan senantiasa menghargai dan menghormati orang-orang yang bernasib baik. Lalu mungkinkah keadaan terbalik ini akan terjadi di negeri ini? Wallahu’alam bishahab. ***